Laman

Selasa, 14 Juni 2011

sedikit pandangan tentang pendidikan di Indonesia

oleh : novan suhendra

Entah apa yang ada dibenak para orang tua siswa yang anaknya masuk dalam kelompok para “pencontek massal”. Tidak habis pikir saya ketika melihat mereka beramai-ramai “mengeroyok dan menghakimi” sang pelapor. Dan yang makin membingungkan adalah mereka melakukan itu atas nama membela anaknya, entah anak atau perbuatannya yang dibela.
Betapa kita muak jika melihat para koruptor yang mencuri uang rakyat, betapa kita marah ketika melihat ada “permainan dari oknum” pada saat penerimaan masuk sekolah, betapa menjijikkan ketika kita merasa terzalimi karena kita tidak mendapatkan  hak-hak kita sebagai warga Negara. Bahkan kadang kita dengan mudahnya mengecam dan mencaci maki guru-guru yang “main tangan” dalam  mendidik siswanya.

Mau dibawa pendidikan anak-anak kita, yang hari demi hari hanya bangga dengan nilai-nilai semu yang tertera dalam selembar kertas. Yang hanya dijejali hafalan-hafalan dan teori usang yang mungkin sudah jauh tertinggal. Yang hanya senang jika sekolahnya mendapat predikat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, padahal guru-gurunya belum semuanya dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris secara lancar.
Harus ada “reformasi ” dalam dunia pendidikan bangsa ini. Dimulai dari guru (pendidik), siswa didik, orang tua (keluarga dan masyarakat) dan Negara (sistem dan kebijakan)
Dahulu saya pernah semangat dan malas dalam belajar karena faktor guru yang mengajar, jadi salah satu yang harus dibenahi adalah bagaimana cara merekrut guru, mulai dari kampus tempat calon-calon guru itu bersekolah sampai dengan peningkatan kualitas guru. Tidak cukup hanya dengan sertifikasi tanpa ada penjagaan dan peningkatan kualitas guru tesebut. Mari kita coba tanya kepada guru-guru yang ada di sekolah kita, berapa kali dalam setahun mereka ikut pelatihan peningkatan kualitas guru. Jangan-jangan metode pengajaran yang dipakai guru itu sudah ia gunakan selama puluhan tahun, padahal diluar sana sudah banyak metode-metode pengajaran yang jauh lebih mudah dicerna siswa.
Nah, ini yang paling berat, yaitu sistem dan kebijakan. Sistem yang adil bagi semua pendidik dan siswa didik, sistem yang tidak hanya menghitung keberhasilan hanya dari nilai Ujian Nasional. Sistem yang bisa memberikan guru dan siswa kenyamanan dalam belajar dan mengajar.  Sistem yang memanusiakan dan bukan merobotkan, sistem yang membuat kita siap memakai dan bukan siap dipakai. Sistem untuk menjadi seorang mempunyai jiwa pemimpin, entrepreneurship, kritis, inovatif, professional, cerdas, bermoral. Disini peran Negara sangat diharapkan untuk dapat mengalokasikan dan mencairkan dana untuk keperluan pendidikan tanpa perlu ada “sunat menyunat”.
Namun satu hal yang tidak boleh terlewati yaitu tentang pola pikir kita yang selama ini kita selalu dicekoki oleh pemikiran bahwa yang namanya belajar ya disekolah, kita menyerahkan 100% pendidikan kepada sang guru dan kita melupakan bahwa sesungguhnya pendidikan yang utama itu harus dimulai dari keluarga dan pendidikan seumur hidup (long life education) hanya ada dimasyarakat. Jadi sesungguhnya yang harus mendapat prioritas paling penting adalah “reformasi pendidikan” dimulai dari keluarga dan masyarakat. Sehingga peran yang ada disekolah dapat dibagikan di rumah dan masyarakat.
Salah satunya caranya yaitu dengan menciptakan lingkungan yang baik. Lingkungan yang menunjang agar anak-anak tetap bisa belajar dengan baik tanpa harus takut terganggu dari setiap ancaman. Baik itu ancaman yang sifatnya halus sampai dengan kekerasan.
Jadi, untuk menuju keberhasilan “reformasi pendidikan” diperlukan kesadaran bersama akan pentingnya pendidikan dan hal ini bisa terwujud jika ada kerjasama dari semua pihak. Semoga masa depan Indonesia lebih baik dibandingkan hari ini.